Rabu, 15 Februari 2017

[Cerpen] Kecuali Dirimu


Sonny belajar di bangku kelas sebelas. Selalu dengan semangatnya ia belajar di sekolah meski dengan kepayahannya. Ia akan berusaha dengan usahanya sendiri tanpa mengemis kepada orang lain. Sekelas dengan Nadira. Sedikit bicara, namun cepat peka dalam memahami perasaan orang lain. Senyum ramah yang ia tawarkan di setiap pagi yang selalu menarik perhatian Sonny.
Nadira terkadang bingung dengat semangat belajar Sonny yang tinggi, yang entah dari mana ia mendapatkannya. Padahal Sonny kesulitan memahami apa yang sedang diajarkan guru, jugas tugas yang di berikan guru sepulang sekolah. Lewat kesabaran Nadira, Sonny selalu belajar meskipun perlahan, hanya demi memahami apa yang Nadira katakan padanya.
Sementara itu, Sonny sangat ahli memainkan piano, hingga teman-temannya bingung bagaimana cara Sonny piawai memainkannya setiap ada pertunjukan di sekolah. Walau begitu, sebenarnya Sonny sering memainkan piano dengan ekspresi terlalu menghayati. Teman-temannya mengira ia begitu menghayati permainannya.
Walaupun Sonny sering merasa lelah ketika berlatih piano setiap senja, ia selalu sampai di sekolah esok harinya dengat raut wajah gembira tanpa ada beban. Hari demi hari mereka jalani. Tentu rasa penasaran Nadira semakin besar, mengapa Sonny selalu terlihat bahagia setiap saat, padahal Nadira memiliki semuanya dalam kehidupannya, namun tak sebahagia Sonny. Sonny sering memamerkan gelang talinya kepada Nadira.
“Nadira, gelang ini bagus tidak?”
“Bagus. Sebenarnya biasa saja, namun mungkin bagimu ini sangat berkesan, ‘kan?”
“Ini buatan ibuku. Tentu, ini berkesan.”
Nadira selalu lupa menanyakan alasan mengapa Sonny begitu menyukai gelang tersebut. Rasa penasarannya itulah yang membuat Nadira sering berkunjung ke rumah Sonny. Sonny belakangan ini sering mengajak Nadira ke ruangan dimana lembaran-lembaran partitur lagu berserakan di atas pianonya. Jarak rumah yang tak jauh dari rumahnya membuat Nadira tak gusar  untuk datang. Nadira menemukan sebingkai foto dimana terdapat gambar Sonny di foto tersebut dengan dua orang di belakangnya yang Nadira kira itu adalah orang tuanya.
“Sonny, ini fotomu saat kecil dengan siapa?” Nadira sambil menunjuk foto wanita di foto itu.
Dengan kesal, Sonny membalikan bingkai foto tersebut dan membantingkannya hingga kacanya pecah.
Nadira terkejut dengan reaksi Sonny yang emosional itu. Nadira baru pertama melihat Sonny seperti ini. Sonny meletakan kedua tangannya di atas piano tersebut dan memulai memainkan sebuah lagu. Nadira tidak mengenali lagu apa yang sedang Sonny mainkan, namun Nadira mengarang sendiri liriknya sendiri saat pertama kali mendengarnya. Permaian pianonya diawali dengan kelembutan, mulai keras, cepat, dan berakhir dengan lembut kembali dengan bass piano. Sonny mengatakan bahwa lagu tersebut tersirat sisi pedih dari kehidupannya yang sekarang.
 “Orang-orang hanya peduli aku yang selalu tersenyum tanpa tahu apa yang sebenarnya ku rasakan. Jadi untuk apa kau peduli kabarku?”
“Aku hanya peduli pada keadaanmu. Tak biasanya kau seperti ini.” Balas Nadira dengan tatapan iba. Akhir-akhir ini Sonny memang terlihat sedikit berbeda.
“Baiklah, aku akan tersenyum. Masa bodoh! Aku terseyun untuk siapa? Tak penting juga aku menutup-nutupi apa yang kurasakan hanya demi orang-orang mau berada di dekatku.”
“Tapi aku berbeda. Entah kau sedang bahagia, sedih, ataupun kesal, aku tak peduli! Apapun yang kau rasakan bisa kau ceritakan, dan...”
“Ya, teruskan. Kau boleh sesukamu bicara. Aku tak percaya. Maksud kata-katamu itu adalah tentang cinta, ‘kan? Aku tak percaya cinta!” Reaksi Sonny tak diduga-duga Nadira.
Sonny menyentak Nadira sambil melemparkan gelang tali yang dipakainya hingga ikatannya terlepas. Nadira hanya memumungutnya dan berusaha membetulkannya. Esok harinya keadaan kembali seperti biasa. Nadira mengikatkan kembali gelang itu ke pergelangan tangan Sonny. Namun Nadira merasakan bahwa denyut nadi Sonny sedikit kencang sambil terus menerus melihat wajah Nadira dengan sedikit poni di wajahnya yang berjatuhan, yang tertimpa cahaya matahari senja yang terbelah kusen-kusen jendela.
Kali ini mereka tak pulang bersama. Nadira pulang terlebih dahulu meninggkalkan Sonny yang akan berlatih untuk acara pentas seni nanti. Saat Nadira menunggu di halte busway, seorang ibu yang wajahnya seperti pernah ia lihat bertanya padanya.
“Nak, kau teman sekelasnya Sonny, ‘kan?”
“Hmm... Ya betul, Bu.” Nadira mencium tangan ibu tersebut.
“Bagaimana keadaan Sonny?”
“Baik-baik. Ia sangat semangat belajar di kelas walaupun ia kepayahan. Ibu ini siapanya Sonny?”
“Ibu... Ibu adalah Ibunya Sonny. Tolong jangan beritahu pertemuan ini pada Sonny, ya!”
“Apa ada pesan yang bisa saya sampaikan pada Sonny?”
“Tidak ada, tapi mohon bantuannya, Nak. Harap baik pada anakku. Jaga ia.”
Bus yang mereka tungu datang. Namun mereka tak meneruskan pembicaraa di dalam bus. Ibu Sonny menjelaskan bahwa kedua orang tua Sonny bercerai saat kelas tujuh. Alasan mereka bercerai adalah karena ibunya terlalu memaksakan Sonny untuk menjadi anak yang pintar di semua pelajaran, bahkan tak segan-segan menghukumya dengan memukul tangannya dengan rotan saat salah. Ayahnya merasa kesal atas tindakan ibunya tersebut. Ayahnya begitu mengupayakan keinginan anaknyamahir bermain piano. Sonny merasa sakit hati dan tak ingin bertemu dengan ibunya karena mengatai bahwa Sonny akan selalu bodoh, sehingga Sonny selalu rajin belajar dan membuktikan bahwa suatu saat perkataan ibunya adalah salah.
Sonny pun tak percaya adanya cinta karena melihat pertengakaran yang disebabkan berbagai masalah yang yang setiap hari orang tuanya lakukan hingga akhirnya mereka bercerai. Kedua orangtuanya sibuk dengan pekerjaannya sehingga kurang memperhatikan Sonny.  Menurutnya, cinta hanyalah hasrat tak jelas yang menjadi penderitaan terbesar manusia.
Mendengar hal tersebut, Nadira merasa iba mendengar semua yang dibicaran oleh ibu dari Sonny tersebut. Dilema? Bisa jadi. Karena Nadira ingin memperlihatkan bahwa ia peduli terhadap Sonny, namun takut malah membuat Sonny kecewa atas pertemuannya dengan ibunya.
Nadira masih heran mengenai gelang tali yang begitu Sonny sukai. Padahal ia sangat membenci ibunya, dan tak ingin bertemu dengan ibunya.
“Sonny, mengapa kau begitu menyenangi gelang itu?”
“Ya, karena bagus, dan pemberian ibuku.”
“Itu saja? Ku kira apa.”
“Apa pentingnya bagimu untuk tahu?”
“Aku tahu semuanya. Orang tuamu bercerai, ‘kan?”
“Oke, baiklah ku akui kau memang sangat peduli dan penasaran padaku hingga kau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku menyukai gelang ini karena ini hadiah satu-satunya saat ibuku memujiku “Kau anak pintar!” saat aku mendapat nilai seratus pada ulangan matematikaku saat SD. Hari itu aku merasa senang sekali saat ibuku memuji.” Mendengar hal itu, mata Nadira berkaca-kaca, hampir meneteskan air mata.
“Aku iri denganmu, mendapat suatu hal yang sesederhana ini saja kau merasa sangat bahagia, sementara aku yang selalu bersama ayah ibuku, kakakku, adikku, bahkan mereka yang selalu ingat tanggal ulang tahunku, aku pernah menolak dan membuang hadiah yang mereka berikan karena tak sesuai keinginanku di depan mata mereka. Aku langsung masuk kamar dengan membanting pintu tanpa memikirkan perasaan mereka.” Karena melihat reaksi Nadira, Sonny memberikan balasan sambil dengan mata yang berkaca-kaca
“Haha... Aku tak mengerti bagaimana kehidupanku begitu diinginkan oleh orang lain, seperti dirimu. Terkadang, aku sangat membenci kehidupanku, dan sangat iri terhadap kehidupan orang lain yang kelihatannya seperti senang-senang saja tanpa kepedihan yang ku rasakan ini. Tapi aku selalu berusaha memaknai hidupku agar setidaknya kehidupanku tak ku cela oleh diriku sendiri.” Tangan Sonny perlahan menggenggam kedua tangan Nadira dengan maksud menguatkan diri bahwa kehidupan memanglah pedih, tanpa maksud lain. Namun Nadira merasakan ada yang lain dari tatapan mata Sonny saat ia menggenggam tangannya.
Hari pertunjukan pentas datang. Penampilan tersebut diakhiri tanpa cela. Penonton memberi tepuk tangan meriah. Namun sampai beberapa hari setelah hari itu, Sonny tak menyapa atau mengajak bicara Nadira. Nadira cukup bosan untuk hal yang terjadi kali ini. Akhirnya Nadira memberanikan diri bertanya kepada Sonny.
“Sonny, apa yang sebenarnya kau inginkan?” Nadira menatap dalam pandangan Sonny.
“Tidak tahu. Kau pikir saja sendiri.” Balas Sonny dengan acuh lalu membuang muka.
“Apa maksudmu menghindar tiap menemui kehadiranku?”
“Kau suka padaku? Mengakulah!’”
“Ya. Ku akui aku mengagumimu, malah lebih dari itu!”
“Simpan omong kosongmu semua! Aku bisa bertahan tanpa dirimu. Dari awalpun aku kuat. Aku tak pernah cerita apapun padamu. Aku tak pernah menangis di depan orang-orang, orang-orang tahu bahwa aku selalu bahagia. Aku terbiasa dengan semua ini. Apa kau hanya iba dengan apa yang ku rasakan? Aku tak butuh itu.” Mendengar jawaban itu, tentu Nadira merasa sakit hati atas anggapan tersebut selama ini. Seketika terlintas banyak hal yang ingin ia utarakan.
“Ya, memang benar, kau tak pernah menangis di depan orang-orang. Siapa juga yang peduli dengan tangisan orang sombong bebal seperti dirimu! Aku berjuang terus di dekatmu bukan tanpa kepayahan. Menjelaskan pelajaran-pelajaran di sekeolah yang tidak kau mngerti, menjaga emosimu, memahi keluh kesahmu, semua itu kau pikir mudah? Tidak! Aku sedikit menyesal melakukan semua yang ini justru membuatku terluka! Pikirkan sekali lagi. Mungkinkah aku pengecualianmu atas tertutupnya pintu hatimu?” Jawaban Nadira yang beradu rasa, mulai dari kesal, sedih, sakit hati, benci, semua jadi satu.
Sonny termenung sejenak. Kali ini mereka benar-benar tak bicara, tak melirik, dan sebagainya. Sonny kembali merasa kesepian. Tak ada lagi yang menemaninya belajar, tak ada lagi yang memahami perasaannya, tak ada lagi tempat ia melampiaskan emosi, tak ada sesosok pemberi kehangatan. Sonny memberontak dalam hatinya, bertanya-tanya atas apa yang ia lakukan kepada Nadira. Ia menghabiskan akhir semester dua kelas sebelas dengan kehampaan.
Musim yang bergantitak ada lagi cahaya senja yang teriris helai rimbun pinus. Angin sejukcenderung dingin mengisi hari-hari mereka. Tanpa sapaan, hampa. Beruntung tak ada yang memperhatikan hubungan mereka.  Mereka hanya fokus dengan pilihan mereka masing-masing. Udara sejukcenderung dingin menyiksa tiap-tiap batin mereka
Ego masing-masing masihlah terlalu besar, lengkap dengan gengsinya. Setiap mereka hendak mengutarakan suatu kepentingan, mereka mengurungkan keinginannya. Sonny mengalah. Ia bicara duluan.
“Nad!” Panggil Sonny dengan memegang bahu Nadira.
“Ya,” balas Nadira Acuh.
 “Mau sampai kapan seperti ini?”
“Seperti apa?” Balas Nadira mengelak. Padahal ia sendiri menginginkannya.
“Kau tidak sadar juga. Sejujurnya aku tersiksa dengan keadaan seperti ini. Aku merasa terbatasi dengan keadaan ini. Aku mohon kita sudahi hal yang yang seperti ini. Aku membutuhkanmu.”
“Aku tidak bermasalah dengan keadaan seperti ini. Kita? Kau sendiri yang merasa bermasalah!” Dusta Nadira. Sebetulnya dada Nadira terasa sesak. Ia tak pernah mendapat pengakuan bahwa ia dibutuhkan. “Baiklah. Aku mengaku begitu. Maaf untuk arogansiku ini. Aku mengharapkan kau mengaku duluan. Sekarang sudah terjadi, kau mengaku membutuhkanku . Maaf untuk semua kepura-puraanku.”
“Ya, kau jahat! Sangat. Jangan lakukan ini lagi. Kau adalah ‘pengeculianku’ diantara semua kebohongan. Menderita itu pasti kita rasakan. Berjalanlah di sampingku dan jangan nostalgia.” Balas Sonny dengan sedikit terkejut mendengar alasan Nadira tersebut.
Sejak saat itu mereka belajar untuk lebih dewasa. Trauma dan ketidakpercaayaan bukan pilihan hidup. Lari dari kenyataan adalah pilihan yang salah. Belajar, belajar, dan belajar­–itulah jalan hidup manusia.



Minggu, 27 November 2016

桜ー森山直太朗 ( Sakura – Moriyama Naotaro)

ぼくらはきっと待ってる
君とまた会える日々を
桜並木のみちの上で
手を振り叫ぶよ

Bokura wa kitto matteru
Kimi to mata aeru hibi o
Sakura namiki no michi no ue de
Te o furisakebu yo

Kita semua pasti sedang menunggu
Menunggu bertemu denganmu
Kita akan memanggil melambaikan tangan
Di atas jalan dengan jejeran pohon Sakura

どんなに苦しい時も
君は笑っているから
くじけそうになりかけても
頑張れる気がしたよ

Donna ni kurushii toki mo
Kimi wa waratte iru kara
Kujikesou ni narikaketemo
Ganbareru ki ga shita yo

Waktu sesulit apapun
Walaupun sepertinya tengah hancur
Aku rasa aku bisa berusaha

かすみゆく景色の中に
あの日の歌が聞こえる
Kasumi yuku keshiki no naka ni
Ano hi no uta ga kikoeru

Di dalam pemandangan yang terbentuk
Lagu hari itu terdengar

さくら さくら 今咲きほこる
刹那に散るゆくさだめと知って
さらば友よ 旅立ちのとき
変わらないその想いを  今
Sakura sakura , Ima, sakihokoru
Setsuna ni chiruyuku sadame to shitte

Saraba tomo yo    Tabidachi no toki
Kawaranai sono omoi o    Ima

Sakura, sakura, kini mulai mekar
Mereka tahu takdir waktu dimana mereka akan gugur
Teman, kalau begitu inilah waktunya kita  berjalan
Meninggalkan perasaan yang tidak akan berubah, sekarang

今なら言えるだろうか
偽りのない言葉
輝ける君の未来を
願うほんとの言葉

Ima nara ieru darou ka
Itsuwari no nai kotoba
Kagayakeru kimi no mirai o
Negau hontou no kotoba

Mungkinkah jika kini aku bisa mengucapkan
Kata-kata tulus
Kata – kata tulus harapan
Agar masa depanmu bersinar

移りゆく街はまるで
僕らをせかすように

Utsuriyuku machi wa marude
Bokura o sekasu youni

Kota yang berpindah
Seakan seperti kita yang terburu-buru

さくら さくら ただ舞い落ちる
いつか生まれ変わる時を信じ
泣くな友よ 惜別のとき
飾らないあの笑顔で さあ

Sakura sakura  Tada maiochiru
Itsuka umarekawaru toki o shinji
Naku na tomo yo Sekibetsu no toki
Kazaranai ano egao de Saa

Sakura, sakura  seperti biasa jatuh berguguran
Aku percaya pada waktu dimana suatu saat akan terlahir kembali
Teman, janganlah menangis , inilah waktunya beranjak
Dengan tawa yang tidak dibuat-buat,  ayolah

さくら さくら いざ舞い上がれ
とわにさんざめく光を浴びて
さらば友よ またこの場所で会おう
さくら舞い散るみちの
さくら舞い散るみちの上で

Sakura sakura  Iza maiagare
Towa ni sanzameku hikari o abite
Saraba tomo yo mata kono basho de aou
Sakura maichiru michi no
Sakura maichiru michi no
Ue de

Sakura, sakura…teruslah naik
Bermandikan sinar matahari yang berlimpah selamanya
Teman, kalau begitu mari kita bertemu lagi di tempat itu
Tempat dimana jalan dengan sakura berguguran
Tempat dimana jalan dengan sakura berguguran
Di atasnya

Semak Belukar [Puisi] - Rizal Budi Leksono

Jika hatiku kau sebut sebuah kebun; kau bisa datang kesana kapan saja
Kau boleh memetik apa saja
Kau boleh menanam apa saja di sana
Terima kasih jika kau pergi ke kebunku untuk menanam buah yang manis
Dan meninggalkan bibitnya untukku
Aku pasti akan menjaganya dengan baik

Aku harap kau tak menanam semak belukar di sana
Memang, rerumputan dan semak belukar tak dapat kau atur pertumbuhannya;
Aku hanya berpesan
jika kau datang ke kebunku dan tak sengaja menjatuhkan bibit semak belukar di sana, harap cabut sebelum ia mengakar kuat di kebunku
Tanpa kau jatuhkan saja, semak yang tak diharapkan pertumbuhannya pun sudah mudah untuk tumbuh
Apalagi jika kau terlalu sering datang dan menjadi orang yang terlalu baik di hidupku

Kau seorang pengurus kebun saja
Bila suatu saat kau kelelahan, kau bisa berteduh pada pohon yang rindang di kebunku
Bila kau kelaparan, kau bisa memetik kapan saja buahnya
Seperti diriku yang siap sedia ada jika kau butuh
Tapi jangan terlalu berharap
Terlebih jika kau temui kemarau panjang dan hama yang menyerang
Aku memang takkan memberimu apa-apa di hari itu
Mempertahankan hidupku sendiri saja aku kepayahan

Aku selalu mengupayakan untuk tetap mengikuti hukum alam
Dan tidak terlalu berharap diurusi oleh dirimu, hingga suatu hari nanti
Namun perlakuanmu yang spesial
Sudah cukup bagiku
Dan membuatku bergelimang kesyukuran kepada Tuhan
Karena pernah menitipkan penjaga kebun terbaiknya di muka bumi ini

Jumat, 12 Februari 2016

Kunci Kristal [Bersambung] - Rizal Budi Leksono

Danau Warna jernih airnya seluas mata memandang. Airnya hingga hilang diganti rona langit sore yang terpantul, kalau aku menarik sampan ke tengah danau sepertinya tak ada kata tenggelam karena aku malah terbang dengan awan-awan. Bebek berenang dan bangau mencari makan di tepi danau yang berumput tinggi, juga ilalangn yang bergesekan. Terlihat rumah Dita dari sebrang danau.
Buku grafit1 dalam genggamanku. Ada empat pita berwarna dari tengah buku itu, dan selembar pita cahaya untuk mengabadikan momen. Kalau aku menempelkan pita coklat ke pohon cemara yang menjadi tempat sandaranku tentu aku langsung tahu berapa lama pohon itu tumbuh, sejauh apa akarnya di dalam tanah, setidaknya setengah makhluk hidup di danau ini memiliki data sendiri. Aku tak menulis dengan pena, namun dengan pikiranku.
“Reina, sedang apa kau sendiri di sana?”
“Ah, tidak apa-apa. Hanya menikmati udara segar danau ini. Kemarilah Dita!”
“Duduk di sini saja?”
“Ya, tetaplah di sini di tepian danau. Aku takkan menceburkanmu.”
“Baiklah. Berapa lama kau duduk di sini?”
“Entahlah, mungkin cukup lama. Apa kau membawa sesuatu untukku?”
“Tidak. Kau pandai menggambar, mungkin?”
Buku grafit selalu kosong. Yang tetap hanyalah cover bukunya. Isinya berubah-rubah, sesuai kemauanku atau data yang tersedia. Di negaraku ditetapkan bahwa pohon cemara menjadi sumber pertukaran data. Aku bisa menghubungi seseorang, menulis, menggambar, apapun itu kalau aku berada di dekat pohon cemara, bahkan mendengarkan lagu dan melihat rekaman pita cahaya.
“Apa sudah jadi gambarnya, Reina?”
“Sudah.” Ku perlihatkan gambar sketsa keabu-abuan dari lembar pertama buku grafit.
“Jangan lupa kirimkan gambarnya lewat cemara.”
“Hmm... sepertinya gangguan. Biar kucoba lagi.” Pita berwarna merah menggulung sendiri.
“Apa ini pertanda baik?”
“Sepertinya tidak. Ada perusak di sekitar sini. Sepertinya dia orang asing tak tahu cara menjaga alam. Seseorang menyiramkan sesuatu ke tanah sehingga pohon ini menyerapnya, dan begitulah...”
“Aku tidak melihat siapapun, tapi tunggu, lalu itu apa yang ada di dahan pohon?” Anandita Tanudatar menunjuk makhluk seperti burung hantu itu.
“Wuk wuuk wuk wuuk, siapa disana?” Burung hantu itu bisa berbicara.
“Tampak mengejutkan. Burung hantu itu bicara. Mungkin ia mengajak selfie kepadamu, Reina.” Ujar Dita.
Burung hantu itu datang, sementara hari semakin gelap. Awal tahun 2416 yang mengejutkan. Seekor burung hantu bisa berbicara, dengan keadaan alam yang mendukung, seperti angin yang semakin dingin menarik bulu kuduk, apalah itu.
Gulungan surat di kakinya ingin agar aku membukanya. Tulisannya lenyap seperti debu tertiup, lalu muncul dalam buku grafitku. Burung hantu itu lalu pergi
“Halo!” tertulis besar di tengah lembar halaman pertama. Ku pikirkan balasannya dan muncul.
“Hai! Kau siapa? Apa kau burung hantu itu? Kemunculanmu itu mengganggu sinyal pertukaran data.”
“Tidak. Aku pemiliknya. Aku ingin menolongmu. Aku mengajarinya hingga bisa bicara dengan teknologi yang ayahku punya. Berkunjunglah ke rumahku.” Selesai aku dan Dita membaca balasan dari orang itu, buku tersebut membuka halaman terakhir di buku yang fungsinya sebagai peta.
“Tanya lagi orang misterius itu Reina!” Ujar Anandita ingin aku membalasnya karena ia tak bisa membalas dengan buku grafitku. Milikku, maka hanya aku yang bisa memakainya. Miliknya, hanya ia saja yang bisa memakainya.
“Namamu siapa? Aku tak tahu persis dimana tempat tinggalmu, sepertinya daerah terpencil. Aku menebaknya dari gayamu yang memberikan surat dari sebuah perkamen elektronik usang.”
“Namaku Darpa Wiraatmaja. Geser tulisan yang akan muncul, ‘Proyeksikan’ nanti lihat yang akan terjadi. Aku tahu kau yang menerima adalah Reina Hikari dan yang di sampingmu Anandita Tanudatar.” Dikirimnya pesan itu dengan align teks center dan tulisan tegak bersambung yang rapih.
Terlihat cahaya laser biru dari gutter halaman yang menunjukankami suatu arah, lengkap dengan rincian mata angin, jarak, lintang, dan bujur dimana dia berada.
“Bagaimana kau melakukannya? Aku saja yang punya buku ini tidak tahu secara keseluruhan mengopersikannya, ku hanrap kau mengajariku. Lalu bagaimana cara kami sampai ketempat tujuan? Berjalan kaki?”
“Ikuti saja, tidak sulit. Tidak jauh bukan?”
“Apa yang harus aku bawa? Sementara hari sudah gelap.”
“Buku itu, temanmu, dan kunci kristal. Baiklah besok saja kau datang.” Darpa mengiripnya dengan font kecil yang antik dan setiap huruf bejarak agak jauh.”
“Kristal apa? Kalungku maksudmu? Sejak kapan kau memata-mataiku? Baiklah, aku mengantuk. Aku dan Dita akan pulang, dan menjauh dari pohon cemara sandaranku. Aku mengaku buku grafit ini tidak secanggih teknologi yang kau punya. Maafkan aku mencelamu. Besok saja kita lanjutkan.” Balasku dengan tulisan yang hinggap di pohon lalu terbang kesana-kemari.
***
Mentari terbit hari ini tidak tertutup awan, cerah sekali. Pemandangan indah dari Danau Warna selalu muncul setiap ku buka jendela, dan sinar mentari pagi yang usil ingin masuk kamarku dan mengintipku yang ‘setengah’ berpakaian. Aku pergi sekolah. Aku duduk di bangku kelas, bangkunya tidak berderet seperti abad 21. Melainkan setengah lingkaran. Karpet ‘wangi’ menyapaku dan ‘menegur’ agar anggota kelas mencucinya. Setidaknya sesajen[2] menyamarkan aroma-aroma itu hinggak terasa tidak ada. Pelajaran Olah Jiwa begitu menentramakan. Kemampuan seseorang dalam spiritual sangat penting di zamanku. Mencoba melihat dengan batin, sedang ku pelajari. Banyak masalah menimpa negeriku karena ketidaktentraman batin pada diri masing-masing.
Darpa? Bagaimana Darpa? Dia tiba-tiba muncul, dalam mata batin, aku meyakini ia Darpa, padahal aku belum pernah melihatnya. Ia menunjukan sebuah pintu, dan kuncinya adalah kristal yang kujadikan kalung.
“Apa kau sudah makan?” Ia terlihat sedang bicara kepadaku, aku tak paham. Seolah dia melihatku. Dia menyiapkan makan siang di sana.
Sekarang waktu belajar telah usai. Matahari selesai dari puncaknya, aku berkunjung kerumahnya bersama Dita. Cahaya laser menuntunku.
Kami tiba disana. Aku tak menceritakan hal barusan kepada Dita. Pagar kayu putih yang tinggi dan bangunan bertema abad 18 ala eropa yang antik nan artistik sudah cukup menjelaskan pengetahuan keluarganya Darpa, tapi tak menjelaskan sejauh apa mereka dikenal dan dari mana mereka berasal. Terlihat cemara yang rindang di depan rumah tersebut.
Pintu pagar kayu berubah menjadi coklat perlahan. Namun bercak putih tetap ada, yang sebenarnya tulisan “Wuk wuuk wuk wuuk, siapa disana?”. Lalu motif ukiran Belanda muncul dengan lambang burung hantu menghiasi pintu tersebut. Ku jawab dengan menempelkan kristalku, sepertinya berfungsi dan sidik jari kami berdua. Pintu membuka. Benar saja yang ku lihat tadi saat meditasi. Ia langsung mempersilakan kami masuk, namun langsung mengajak kami ke meja makan.
“Hmm... berapa kau tinggal di sini Darpa?”
“Aku baru pindah 2 tahun yang lalu, dari kota Priangan Utara.”
“Kau bilang kemarin kau akan menolongku, betul demikian?”
“Ya, nanti akan ada kekacauan data. Semua orang akan bertebaran. Ada banyak kerusuhan dan orang-orang bertanya-tanya apa yang terjadi. Sepertinya seseorang mencuri data pemerintah dan mengacak-acak komunikasi. Bisa saja kau tiba-tiba melihat percakapan teman-temanmu yang sedang membicarakanmu, jadi semua percakapan tidak terenskripsi dengan aman. Berikut data keluargamu yang memudahkan pencuri menyusup kerumahmu, menjarah barang di pusat perbelajaan, dan merubah nomor rekeningmu jadi kau tidak bisa membayar kredit belanja.”
“Bisakah kau jelaskan apa yang kau maksud sebenarnya? Jangan menakut-nakuti kami.”
“Singkatnya ini adalah penderitaan yang belum terjadi. Yang harus kau lakukan membantuku untuk menyelamatkan kota Priangan Selatan, seluruh Priangan, ataupun Nusantara. Kristalmu bisa menangkal penyadapan. Pada saat kau mengirim lukisan ke buku Dita gagal, beruntunglah, karena tidak jadi disadap seseorang. Gunakan mata batin, karena tidak akan mudah disadap.”
“Harus ku apakan kristal ini?”
“Membuatnya lagi.”
“Tidak kau tiru saja mekanisme kristal ini bekerja pada sebuah mesin?”
“Aku belum bisa. Ayahku sedang sibuk bekerja di lantai atas. Ayahku belum tahu tentang hal ini.” Sambil mengoperasikan buku grafitnya yang sedikit tebal dan bercover coklat tua. Terlihat ia adalah seorang kutu buku.
“Kau punya perkamen ayahmu?” Aku melihat secarik kertas bertuliskan “Aditya Wiraatmaja yang terduduk di singgasananya”.
“Tentu, itu yang kau lihat tengah meja makan. Makanlah.”
Setelah itu kami masuk ke ruangan bawah tanah, ada banyak percobaan yang sedang ia lakukan. Aku melihat ‘pancingan data’ berupa tanaman kamboja yang masil kecil, karena bunganya langsung memproyeksikan namaku, dan identitasku. Begiitu nyaman walau kami tak melihat matahari. Kayu ukiran jepara melengkapi bagian depan ruangan ini. selebihnya hanya meja dan diatasnya percobaan tersebut. Dita mengeluarkan buku grafitnya dari tasnya. Warnanya merah marun. Ia mengambil perkamen tersebut yang ia bawa tadi. Tulisannya hilang, berpindah ke bukunya.
“Selamat siang, Pak.”
“Datang saja kemari.”
“Terimakasih Pak, bagaimana cara untuk mencegah penyadapan dan ...” Dita menulis panjang lebar.
Mulai hari itu kami mencari perusahaan-perusahaan yang mau menerima proposa kami membuat seseuatu yang menyeruapai kristal ini, walaupun hanya sedikit yang menanggapi apa yang kami lakukan setidaknya ada juga yang menanggapi keinginan kami, mengamankan data dari bencana. Beberapa perusahaan menerima dan mempublikasikan. kami berpikir bahwa ada seseorang yang ingin mengalihakan isu dengan cara seperti ini. Keuangan negara kami kian lama kian merosot—apa yang dapat kami perbuat? Hanya ini saja—usaha dengan tanggapan rendah
Musim kekacauan hampir datang. Darpa tahu dari bunga kambojanya. Kabel-kabel yang terpasang pada bunga tersebut kurang rapih—cenderung amatir. Aku memasangkan kristal ini dirumahku, agar keluargaku selamat.
Kerusuhan terjadi. Televisi hologram memberitakan semua kekacauan—apa yang kami lakukan? Kami mencari isu inti, kami menemukannya, dan melaporkannya ke pihak berwajib. oh iya, kami lupa, bukannya memberitakan hal ini terhadap orang terdekat derlebih dahulu.
Gubernur Priangan menanggapi kami walau terlambat. Setidaknya kami berusaha. Aksi bakar-bakaran tak terhindarkan, menuntut pemerintah mengembarikan akses pertukaran data.
***




[1] Buku yang hanya sebagai layout sebuah file, penyimpanannya ada pada cover belakang yang tebal, juga bisa sebagai alat komunikasi jika berada di dekat pohon cemara.
[2] Ramuan khusus seperti aromatherapi yang dipanaskan dengan api, tidak ada unsur mistis atau pemujaan disini. 

Minggu, 05 Oktober 2014

Diorama Sekilas

Kala mulai terhempas bagian dari kami 
Lantai mengkilat, kilau cahayanya memantul 
Asap hangatnya hari, kaku dan dingin 
Nada bising terhentak mati 
Tanpa ada sedikitpun segores suara bisa lolos 
Intan kokoh cahayanya gentar, lalu mati 
Nasti, jelas tak bisa! tak mungkin! 
Gagah wajah, hatinya menangis 

Diorama, aku patung, mereka patung 
Ada suara terdengar, namun mengapa masih hening? 
Wajahnya sebagian dibasahi air mata yang dilukis 
Entah mereka kosong pikirannya memikul peran 
Tanpa usaha pun sama saja

Semua tetap diorama yg akan dikenang sebagai kenangan yang memalukan!