Rabu, 15 Februari 2017

[Cerpen] Kecuali Dirimu


Sonny belajar di bangku kelas sebelas. Selalu dengan semangatnya ia belajar di sekolah meski dengan kepayahannya. Ia akan berusaha dengan usahanya sendiri tanpa mengemis kepada orang lain. Sekelas dengan Nadira. Sedikit bicara, namun cepat peka dalam memahami perasaan orang lain. Senyum ramah yang ia tawarkan di setiap pagi yang selalu menarik perhatian Sonny.
Nadira terkadang bingung dengat semangat belajar Sonny yang tinggi, yang entah dari mana ia mendapatkannya. Padahal Sonny kesulitan memahami apa yang sedang diajarkan guru, jugas tugas yang di berikan guru sepulang sekolah. Lewat kesabaran Nadira, Sonny selalu belajar meskipun perlahan, hanya demi memahami apa yang Nadira katakan padanya.
Sementara itu, Sonny sangat ahli memainkan piano, hingga teman-temannya bingung bagaimana cara Sonny piawai memainkannya setiap ada pertunjukan di sekolah. Walau begitu, sebenarnya Sonny sering memainkan piano dengan ekspresi terlalu menghayati. Teman-temannya mengira ia begitu menghayati permainannya.
Walaupun Sonny sering merasa lelah ketika berlatih piano setiap senja, ia selalu sampai di sekolah esok harinya dengat raut wajah gembira tanpa ada beban. Hari demi hari mereka jalani. Tentu rasa penasaran Nadira semakin besar, mengapa Sonny selalu terlihat bahagia setiap saat, padahal Nadira memiliki semuanya dalam kehidupannya, namun tak sebahagia Sonny. Sonny sering memamerkan gelang talinya kepada Nadira.
“Nadira, gelang ini bagus tidak?”
“Bagus. Sebenarnya biasa saja, namun mungkin bagimu ini sangat berkesan, ‘kan?”
“Ini buatan ibuku. Tentu, ini berkesan.”
Nadira selalu lupa menanyakan alasan mengapa Sonny begitu menyukai gelang tersebut. Rasa penasarannya itulah yang membuat Nadira sering berkunjung ke rumah Sonny. Sonny belakangan ini sering mengajak Nadira ke ruangan dimana lembaran-lembaran partitur lagu berserakan di atas pianonya. Jarak rumah yang tak jauh dari rumahnya membuat Nadira tak gusar  untuk datang. Nadira menemukan sebingkai foto dimana terdapat gambar Sonny di foto tersebut dengan dua orang di belakangnya yang Nadira kira itu adalah orang tuanya.
“Sonny, ini fotomu saat kecil dengan siapa?” Nadira sambil menunjuk foto wanita di foto itu.
Dengan kesal, Sonny membalikan bingkai foto tersebut dan membantingkannya hingga kacanya pecah.
Nadira terkejut dengan reaksi Sonny yang emosional itu. Nadira baru pertama melihat Sonny seperti ini. Sonny meletakan kedua tangannya di atas piano tersebut dan memulai memainkan sebuah lagu. Nadira tidak mengenali lagu apa yang sedang Sonny mainkan, namun Nadira mengarang sendiri liriknya sendiri saat pertama kali mendengarnya. Permaian pianonya diawali dengan kelembutan, mulai keras, cepat, dan berakhir dengan lembut kembali dengan bass piano. Sonny mengatakan bahwa lagu tersebut tersirat sisi pedih dari kehidupannya yang sekarang.
 “Orang-orang hanya peduli aku yang selalu tersenyum tanpa tahu apa yang sebenarnya ku rasakan. Jadi untuk apa kau peduli kabarku?”
“Aku hanya peduli pada keadaanmu. Tak biasanya kau seperti ini.” Balas Nadira dengan tatapan iba. Akhir-akhir ini Sonny memang terlihat sedikit berbeda.
“Baiklah, aku akan tersenyum. Masa bodoh! Aku terseyun untuk siapa? Tak penting juga aku menutup-nutupi apa yang kurasakan hanya demi orang-orang mau berada di dekatku.”
“Tapi aku berbeda. Entah kau sedang bahagia, sedih, ataupun kesal, aku tak peduli! Apapun yang kau rasakan bisa kau ceritakan, dan...”
“Ya, teruskan. Kau boleh sesukamu bicara. Aku tak percaya. Maksud kata-katamu itu adalah tentang cinta, ‘kan? Aku tak percaya cinta!” Reaksi Sonny tak diduga-duga Nadira.
Sonny menyentak Nadira sambil melemparkan gelang tali yang dipakainya hingga ikatannya terlepas. Nadira hanya memumungutnya dan berusaha membetulkannya. Esok harinya keadaan kembali seperti biasa. Nadira mengikatkan kembali gelang itu ke pergelangan tangan Sonny. Namun Nadira merasakan bahwa denyut nadi Sonny sedikit kencang sambil terus menerus melihat wajah Nadira dengan sedikit poni di wajahnya yang berjatuhan, yang tertimpa cahaya matahari senja yang terbelah kusen-kusen jendela.
Kali ini mereka tak pulang bersama. Nadira pulang terlebih dahulu meninggkalkan Sonny yang akan berlatih untuk acara pentas seni nanti. Saat Nadira menunggu di halte busway, seorang ibu yang wajahnya seperti pernah ia lihat bertanya padanya.
“Nak, kau teman sekelasnya Sonny, ‘kan?”
“Hmm... Ya betul, Bu.” Nadira mencium tangan ibu tersebut.
“Bagaimana keadaan Sonny?”
“Baik-baik. Ia sangat semangat belajar di kelas walaupun ia kepayahan. Ibu ini siapanya Sonny?”
“Ibu... Ibu adalah Ibunya Sonny. Tolong jangan beritahu pertemuan ini pada Sonny, ya!”
“Apa ada pesan yang bisa saya sampaikan pada Sonny?”
“Tidak ada, tapi mohon bantuannya, Nak. Harap baik pada anakku. Jaga ia.”
Bus yang mereka tungu datang. Namun mereka tak meneruskan pembicaraa di dalam bus. Ibu Sonny menjelaskan bahwa kedua orang tua Sonny bercerai saat kelas tujuh. Alasan mereka bercerai adalah karena ibunya terlalu memaksakan Sonny untuk menjadi anak yang pintar di semua pelajaran, bahkan tak segan-segan menghukumya dengan memukul tangannya dengan rotan saat salah. Ayahnya merasa kesal atas tindakan ibunya tersebut. Ayahnya begitu mengupayakan keinginan anaknyamahir bermain piano. Sonny merasa sakit hati dan tak ingin bertemu dengan ibunya karena mengatai bahwa Sonny akan selalu bodoh, sehingga Sonny selalu rajin belajar dan membuktikan bahwa suatu saat perkataan ibunya adalah salah.
Sonny pun tak percaya adanya cinta karena melihat pertengakaran yang disebabkan berbagai masalah yang yang setiap hari orang tuanya lakukan hingga akhirnya mereka bercerai. Kedua orangtuanya sibuk dengan pekerjaannya sehingga kurang memperhatikan Sonny.  Menurutnya, cinta hanyalah hasrat tak jelas yang menjadi penderitaan terbesar manusia.
Mendengar hal tersebut, Nadira merasa iba mendengar semua yang dibicaran oleh ibu dari Sonny tersebut. Dilema? Bisa jadi. Karena Nadira ingin memperlihatkan bahwa ia peduli terhadap Sonny, namun takut malah membuat Sonny kecewa atas pertemuannya dengan ibunya.
Nadira masih heran mengenai gelang tali yang begitu Sonny sukai. Padahal ia sangat membenci ibunya, dan tak ingin bertemu dengan ibunya.
“Sonny, mengapa kau begitu menyenangi gelang itu?”
“Ya, karena bagus, dan pemberian ibuku.”
“Itu saja? Ku kira apa.”
“Apa pentingnya bagimu untuk tahu?”
“Aku tahu semuanya. Orang tuamu bercerai, ‘kan?”
“Oke, baiklah ku akui kau memang sangat peduli dan penasaran padaku hingga kau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku menyukai gelang ini karena ini hadiah satu-satunya saat ibuku memujiku “Kau anak pintar!” saat aku mendapat nilai seratus pada ulangan matematikaku saat SD. Hari itu aku merasa senang sekali saat ibuku memuji.” Mendengar hal itu, mata Nadira berkaca-kaca, hampir meneteskan air mata.
“Aku iri denganmu, mendapat suatu hal yang sesederhana ini saja kau merasa sangat bahagia, sementara aku yang selalu bersama ayah ibuku, kakakku, adikku, bahkan mereka yang selalu ingat tanggal ulang tahunku, aku pernah menolak dan membuang hadiah yang mereka berikan karena tak sesuai keinginanku di depan mata mereka. Aku langsung masuk kamar dengan membanting pintu tanpa memikirkan perasaan mereka.” Karena melihat reaksi Nadira, Sonny memberikan balasan sambil dengan mata yang berkaca-kaca
“Haha... Aku tak mengerti bagaimana kehidupanku begitu diinginkan oleh orang lain, seperti dirimu. Terkadang, aku sangat membenci kehidupanku, dan sangat iri terhadap kehidupan orang lain yang kelihatannya seperti senang-senang saja tanpa kepedihan yang ku rasakan ini. Tapi aku selalu berusaha memaknai hidupku agar setidaknya kehidupanku tak ku cela oleh diriku sendiri.” Tangan Sonny perlahan menggenggam kedua tangan Nadira dengan maksud menguatkan diri bahwa kehidupan memanglah pedih, tanpa maksud lain. Namun Nadira merasakan ada yang lain dari tatapan mata Sonny saat ia menggenggam tangannya.
Hari pertunjukan pentas datang. Penampilan tersebut diakhiri tanpa cela. Penonton memberi tepuk tangan meriah. Namun sampai beberapa hari setelah hari itu, Sonny tak menyapa atau mengajak bicara Nadira. Nadira cukup bosan untuk hal yang terjadi kali ini. Akhirnya Nadira memberanikan diri bertanya kepada Sonny.
“Sonny, apa yang sebenarnya kau inginkan?” Nadira menatap dalam pandangan Sonny.
“Tidak tahu. Kau pikir saja sendiri.” Balas Sonny dengan acuh lalu membuang muka.
“Apa maksudmu menghindar tiap menemui kehadiranku?”
“Kau suka padaku? Mengakulah!’”
“Ya. Ku akui aku mengagumimu, malah lebih dari itu!”
“Simpan omong kosongmu semua! Aku bisa bertahan tanpa dirimu. Dari awalpun aku kuat. Aku tak pernah cerita apapun padamu. Aku tak pernah menangis di depan orang-orang, orang-orang tahu bahwa aku selalu bahagia. Aku terbiasa dengan semua ini. Apa kau hanya iba dengan apa yang ku rasakan? Aku tak butuh itu.” Mendengar jawaban itu, tentu Nadira merasa sakit hati atas anggapan tersebut selama ini. Seketika terlintas banyak hal yang ingin ia utarakan.
“Ya, memang benar, kau tak pernah menangis di depan orang-orang. Siapa juga yang peduli dengan tangisan orang sombong bebal seperti dirimu! Aku berjuang terus di dekatmu bukan tanpa kepayahan. Menjelaskan pelajaran-pelajaran di sekeolah yang tidak kau mngerti, menjaga emosimu, memahi keluh kesahmu, semua itu kau pikir mudah? Tidak! Aku sedikit menyesal melakukan semua yang ini justru membuatku terluka! Pikirkan sekali lagi. Mungkinkah aku pengecualianmu atas tertutupnya pintu hatimu?” Jawaban Nadira yang beradu rasa, mulai dari kesal, sedih, sakit hati, benci, semua jadi satu.
Sonny termenung sejenak. Kali ini mereka benar-benar tak bicara, tak melirik, dan sebagainya. Sonny kembali merasa kesepian. Tak ada lagi yang menemaninya belajar, tak ada lagi yang memahami perasaannya, tak ada lagi tempat ia melampiaskan emosi, tak ada sesosok pemberi kehangatan. Sonny memberontak dalam hatinya, bertanya-tanya atas apa yang ia lakukan kepada Nadira. Ia menghabiskan akhir semester dua kelas sebelas dengan kehampaan.
Musim yang bergantitak ada lagi cahaya senja yang teriris helai rimbun pinus. Angin sejukcenderung dingin mengisi hari-hari mereka. Tanpa sapaan, hampa. Beruntung tak ada yang memperhatikan hubungan mereka.  Mereka hanya fokus dengan pilihan mereka masing-masing. Udara sejukcenderung dingin menyiksa tiap-tiap batin mereka
Ego masing-masing masihlah terlalu besar, lengkap dengan gengsinya. Setiap mereka hendak mengutarakan suatu kepentingan, mereka mengurungkan keinginannya. Sonny mengalah. Ia bicara duluan.
“Nad!” Panggil Sonny dengan memegang bahu Nadira.
“Ya,” balas Nadira Acuh.
 “Mau sampai kapan seperti ini?”
“Seperti apa?” Balas Nadira mengelak. Padahal ia sendiri menginginkannya.
“Kau tidak sadar juga. Sejujurnya aku tersiksa dengan keadaan seperti ini. Aku merasa terbatasi dengan keadaan ini. Aku mohon kita sudahi hal yang yang seperti ini. Aku membutuhkanmu.”
“Aku tidak bermasalah dengan keadaan seperti ini. Kita? Kau sendiri yang merasa bermasalah!” Dusta Nadira. Sebetulnya dada Nadira terasa sesak. Ia tak pernah mendapat pengakuan bahwa ia dibutuhkan. “Baiklah. Aku mengaku begitu. Maaf untuk arogansiku ini. Aku mengharapkan kau mengaku duluan. Sekarang sudah terjadi, kau mengaku membutuhkanku . Maaf untuk semua kepura-puraanku.”
“Ya, kau jahat! Sangat. Jangan lakukan ini lagi. Kau adalah ‘pengeculianku’ diantara semua kebohongan. Menderita itu pasti kita rasakan. Berjalanlah di sampingku dan jangan nostalgia.” Balas Sonny dengan sedikit terkejut mendengar alasan Nadira tersebut.
Sejak saat itu mereka belajar untuk lebih dewasa. Trauma dan ketidakpercaayaan bukan pilihan hidup. Lari dari kenyataan adalah pilihan yang salah. Belajar, belajar, dan belajar­–itulah jalan hidup manusia.