Danau Warna jernih airnya
seluas mata memandang. Airnya hingga hilang diganti rona langit sore yang
terpantul, kalau aku menarik sampan ke tengah danau sepertinya tak ada kata
tenggelam karena aku malah terbang dengan awan-awan. Bebek berenang dan bangau
mencari makan di tepi danau yang berumput tinggi, juga ilalangn yang bergesekan.
Terlihat rumah Dita dari sebrang danau.
Buku grafit1 dalam
genggamanku. Ada empat pita berwarna dari tengah buku itu, dan selembar pita
cahaya untuk mengabadikan momen. Kalau aku menempelkan pita coklat ke pohon
cemara yang menjadi tempat sandaranku tentu aku langsung tahu berapa lama pohon
itu tumbuh, sejauh apa akarnya di dalam tanah, setidaknya setengah makhluk
hidup di danau ini memiliki data sendiri. Aku tak menulis dengan pena, namun
dengan pikiranku.
“Reina, sedang apa kau sendiri
di sana?”
“Ah, tidak apa-apa. Hanya
menikmati udara segar danau ini. Kemarilah Dita!”
“Duduk di sini saja?”
“Ya, tetaplah di sini di tepian
danau. Aku takkan menceburkanmu.”
“Baiklah. Berapa lama kau duduk
di sini?”
“Entahlah, mungkin cukup lama.
Apa kau membawa sesuatu untukku?”
“Tidak. Kau pandai menggambar,
mungkin?”
Buku grafit selalu kosong. Yang
tetap hanyalah cover bukunya. Isinya berubah-rubah, sesuai kemauanku
atau data yang tersedia. Di negaraku ditetapkan bahwa pohon cemara menjadi
sumber pertukaran data. Aku bisa menghubungi seseorang, menulis, menggambar,
apapun itu kalau aku berada di dekat pohon cemara, bahkan mendengarkan lagu dan
melihat rekaman pita cahaya.
“Apa sudah jadi gambarnya,
Reina?”
“Sudah.” Ku perlihatkan gambar
sketsa keabu-abuan dari lembar pertama buku grafit.
“Jangan lupa kirimkan gambarnya
lewat cemara.”
“Hmm... sepertinya gangguan.
Biar kucoba lagi.” Pita
berwarna merah menggulung sendiri.
“Apa ini pertanda baik?”
“Sepertinya tidak. Ada perusak
di sekitar sini. Sepertinya dia orang asing tak tahu cara menjaga alam.
Seseorang menyiramkan sesuatu ke tanah sehingga pohon ini menyerapnya, dan
begitulah...”
“Aku tidak melihat siapapun,
tapi tunggu, lalu itu apa yang ada di dahan pohon?” Anandita Tanudatar menunjuk
makhluk seperti burung hantu itu.
“Wuk wuuk wuk wuuk, siapa
disana?” Burung hantu itu bisa berbicara.
“Tampak mengejutkan. Burung
hantu itu bicara. Mungkin ia mengajak selfie kepadamu, Reina.” Ujar
Dita.
Burung hantu itu datang,
sementara hari semakin gelap. Awal tahun 2416 yang mengejutkan. Seekor burung
hantu bisa berbicara, dengan keadaan alam yang mendukung, seperti angin yang
semakin dingin menarik bulu kuduk, apalah itu.
Gulungan surat di kakinya ingin
agar aku membukanya. Tulisannya lenyap seperti debu tertiup, lalu muncul dalam
buku grafitku. Burung hantu itu lalu pergi
“Halo!” tertulis besar di tengah
lembar halaman pertama. Ku pikirkan balasannya dan muncul.
“Hai! Kau siapa? Apa kau burung
hantu itu? Kemunculanmu itu mengganggu sinyal pertukaran data.”
“Tidak. Aku pemiliknya. Aku
ingin menolongmu. Aku mengajarinya hingga bisa bicara dengan teknologi yang
ayahku punya. Berkunjunglah ke rumahku.” Selesai aku dan Dita membaca balasan
dari orang itu, buku tersebut membuka halaman terakhir di buku yang fungsinya
sebagai peta.
“Tanya lagi orang misterius itu
Reina!” Ujar Anandita ingin aku membalasnya karena ia tak bisa membalas dengan
buku grafitku. Milikku, maka hanya aku yang bisa memakainya. Miliknya, hanya ia
saja yang bisa memakainya.
“Namamu siapa? Aku tak tahu
persis dimana tempat tinggalmu, sepertinya daerah terpencil. Aku menebaknya
dari gayamu yang memberikan surat dari sebuah perkamen elektronik usang.”
“Namaku Darpa Wiraatmaja. Geser
tulisan yang akan muncul, ‘Proyeksikan’ nanti lihat yang akan terjadi. Aku tahu
kau yang menerima adalah Reina Hikari dan yang di sampingmu Anandita
Tanudatar.” Dikirimnya pesan itu dengan align teks center dan
tulisan tegak bersambung yang rapih.
Terlihat cahaya laser biru dari
gutter halaman yang menunjukankami suatu arah, lengkap dengan rincian
mata angin, jarak, lintang, dan bujur dimana dia berada.
“Bagaimana kau melakukannya?
Aku saja yang punya buku ini tidak tahu secara keseluruhan mengopersikannya, ku
hanrap kau mengajariku. Lalu bagaimana cara kami sampai ketempat tujuan?
Berjalan kaki?”
“Ikuti saja, tidak sulit. Tidak
jauh bukan?”
“Apa yang harus aku bawa?
Sementara hari sudah gelap.”
“Buku itu, temanmu, dan kunci
kristal. Baiklah besok saja kau datang.” Darpa mengiripnya dengan font kecil
yang antik dan setiap huruf bejarak agak jauh.”
“Kristal apa? Kalungku
maksudmu? Sejak kapan kau memata-mataiku? Baiklah, aku mengantuk. Aku dan Dita
akan pulang, dan menjauh dari pohon cemara sandaranku. Aku mengaku buku grafit
ini tidak secanggih teknologi yang kau punya. Maafkan aku mencelamu. Besok saja
kita lanjutkan.” Balasku dengan tulisan yang hinggap di pohon lalu terbang
kesana-kemari.
***
Mentari terbit hari ini tidak
tertutup awan, cerah sekali. Pemandangan indah dari Danau Warna selalu muncul
setiap ku buka jendela, dan sinar mentari pagi yang usil ingin masuk kamarku
dan mengintipku yang ‘setengah’ berpakaian. Aku pergi sekolah. Aku duduk di
bangku kelas, bangkunya tidak berderet seperti abad 21. Melainkan setengah
lingkaran. Karpet ‘wangi’ menyapaku dan ‘menegur’ agar anggota kelas
mencucinya. Setidaknya sesajen[2]
menyamarkan aroma-aroma itu hinggak terasa tidak ada. Pelajaran Olah Jiwa
begitu menentramakan. Kemampuan seseorang dalam spiritual sangat penting di
zamanku. Mencoba melihat dengan batin, sedang ku pelajari. Banyak masalah
menimpa negeriku karena ketidaktentraman batin pada diri masing-masing.
Darpa? Bagaimana Darpa? Dia
tiba-tiba muncul, dalam mata batin, aku meyakini ia Darpa, padahal aku belum
pernah melihatnya. Ia menunjukan sebuah pintu, dan kuncinya adalah kristal yang
kujadikan kalung.
“Apa kau sudah makan?” Ia
terlihat sedang bicara kepadaku, aku tak paham. Seolah dia melihatku. Dia
menyiapkan makan siang di sana.
Sekarang waktu belajar telah
usai. Matahari selesai dari puncaknya, aku berkunjung kerumahnya bersama Dita.
Cahaya laser menuntunku.
Kami tiba disana. Aku tak
menceritakan hal barusan kepada Dita. Pagar kayu putih yang tinggi dan bangunan
bertema abad 18 ala eropa yang antik nan artistik sudah cukup menjelaskan
pengetahuan keluarganya Darpa, tapi tak menjelaskan sejauh apa mereka dikenal
dan dari mana mereka berasal. Terlihat cemara yang rindang di depan rumah
tersebut.
Pintu pagar kayu berubah
menjadi coklat perlahan. Namun bercak putih tetap ada, yang sebenarnya tulisan
“Wuk wuuk wuk wuuk, siapa disana?”. Lalu motif ukiran Belanda muncul dengan
lambang burung hantu menghiasi pintu tersebut. Ku jawab dengan menempelkan
kristalku, sepertinya berfungsi dan sidik jari kami berdua. Pintu membuka.
Benar saja yang ku lihat tadi saat meditasi. Ia langsung mempersilakan kami
masuk, namun langsung mengajak kami ke meja makan.
“Hmm... berapa kau tinggal di
sini Darpa?”
“Aku baru pindah 2 tahun yang
lalu, dari kota Priangan Utara.”
“Kau bilang kemarin kau akan
menolongku, betul demikian?”
“Ya, nanti akan ada kekacauan
data. Semua orang akan bertebaran. Ada banyak kerusuhan dan orang-orang bertanya-tanya
apa yang terjadi. Sepertinya seseorang mencuri data pemerintah dan
mengacak-acak komunikasi. Bisa saja kau tiba-tiba melihat percakapan
teman-temanmu yang sedang membicarakanmu, jadi semua percakapan tidak
terenskripsi dengan aman. Berikut data keluargamu yang memudahkan pencuri
menyusup kerumahmu, menjarah barang di pusat perbelajaan, dan merubah nomor
rekeningmu jadi kau tidak bisa membayar kredit belanja.”
“Bisakah kau jelaskan apa yang
kau maksud sebenarnya? Jangan menakut-nakuti kami.”
“Singkatnya ini adalah
penderitaan yang belum terjadi. Yang harus kau lakukan membantuku untuk
menyelamatkan kota Priangan Selatan, seluruh Priangan, ataupun Nusantara.
Kristalmu bisa menangkal penyadapan. Pada saat kau mengirim lukisan ke buku
Dita gagal, beruntunglah, karena tidak jadi disadap seseorang. Gunakan mata
batin, karena tidak akan mudah disadap.”
“Harus ku apakan kristal ini?”
“Membuatnya lagi.”
“Tidak kau tiru saja mekanisme
kristal ini bekerja pada sebuah mesin?”
“Aku belum bisa. Ayahku sedang sibuk
bekerja di lantai atas. Ayahku belum tahu tentang hal ini.” Sambil
mengoperasikan buku grafitnya yang sedikit tebal dan bercover coklat
tua. Terlihat ia adalah seorang kutu buku.
“Kau punya perkamen ayahmu?”
Aku melihat secarik kertas bertuliskan “Aditya Wiraatmaja yang terduduk di
singgasananya”.
“Tentu, itu yang kau lihat
tengah meja makan. Makanlah.”
Setelah itu kami masuk ke
ruangan bawah tanah, ada banyak percobaan yang sedang ia lakukan. Aku melihat
‘pancingan data’ berupa tanaman kamboja yang masil kecil, karena bunganya
langsung memproyeksikan namaku, dan identitasku. Begiitu nyaman walau kami tak
melihat matahari. Kayu ukiran jepara melengkapi bagian depan ruangan ini.
selebihnya hanya meja dan diatasnya percobaan tersebut. Dita mengeluarkan buku
grafitnya dari tasnya. Warnanya merah marun. Ia mengambil perkamen tersebut
yang ia bawa tadi. Tulisannya hilang, berpindah ke bukunya.
“Selamat siang, Pak.”
“Datang saja kemari.”
“Terimakasih Pak, bagaimana
cara untuk mencegah penyadapan dan ...” Dita menulis panjang lebar.
Mulai hari itu kami mencari
perusahaan-perusahaan yang mau menerima proposa kami membuat seseuatu yang
menyeruapai kristal ini, walaupun hanya sedikit yang menanggapi apa yang kami
lakukan setidaknya ada juga yang menanggapi keinginan kami, mengamankan data
dari bencana. Beberapa perusahaan menerima dan mempublikasikan. kami berpikir
bahwa ada seseorang yang ingin mengalihakan isu dengan cara seperti ini.
Keuangan negara kami kian lama kian merosot—apa yang dapat kami perbuat? Hanya
ini saja—usaha dengan tanggapan rendah
Musim kekacauan hampir datang.
Darpa tahu dari bunga kambojanya. Kabel-kabel yang terpasang pada bunga
tersebut kurang rapih—cenderung amatir. Aku memasangkan kristal ini dirumahku,
agar keluargaku selamat.
Kerusuhan terjadi. Televisi
hologram memberitakan semua kekacauan—apa yang kami lakukan? Kami mencari isu
inti, kami menemukannya, dan melaporkannya ke pihak berwajib. oh iya, kami
lupa, bukannya memberitakan hal ini terhadap orang terdekat derlebih dahulu.
Gubernur Priangan menanggapi
kami walau terlambat. Setidaknya kami berusaha. Aksi bakar-bakaran tak
terhindarkan, menuntut pemerintah mengembarikan akses pertukaran data.
***