Sonny belajar di bangku kelas sebelas. Selalu dengan semangatnya ia belajar
di sekolah meski dengan kepayahannya. Ia akan berusaha dengan usahanya sendiri
tanpa mengemis kepada orang lain. Sekelas dengan Nadira. Sedikit bicara, namun
cepat peka dalam memahami perasaan orang lain. Senyum ramah yang ia tawarkan di
setiap pagi yang selalu menarik perhatian Sonny.
Nadira terkadang bingung dengat semangat
belajar Sonny yang tinggi, yang entah dari mana ia mendapatkannya. Padahal Sonny
kesulitan memahami apa yang sedang diajarkan guru, jugas tugas yang di berikan
guru sepulang sekolah. Lewat kesabaran Nadira, Sonny selalu belajar meskipun
perlahan, hanya demi memahami apa yang Nadira katakan padanya.
Sementara itu, Sonny sangat ahli
memainkan piano, hingga teman-temannya bingung bagaimana cara Sonny piawai
memainkannya setiap ada pertunjukan di sekolah. Walau begitu, sebenarnya Sonny
sering memainkan piano dengan ekspresi terlalu menghayati. Teman-temannya
mengira ia begitu menghayati permainannya.
Walaupun Sonny sering merasa lelah
ketika berlatih piano setiap senja, ia selalu sampai di sekolah esok harinya
dengat raut wajah gembira tanpa ada beban. Hari demi hari mereka jalani. Tentu
rasa penasaran Nadira semakin besar, mengapa Sonny selalu terlihat bahagia
setiap saat, padahal Nadira memiliki semuanya dalam kehidupannya, namun tak
sebahagia Sonny. Sonny sering memamerkan gelang talinya kepada Nadira.
“Nadira, gelang ini bagus tidak?”
“Bagus. Sebenarnya biasa saja, namun
mungkin bagimu ini sangat berkesan, ‘kan?”
“Ini buatan ibuku. Tentu, ini berkesan.”
Nadira selalu lupa menanyakan alasan
mengapa Sonny begitu menyukai gelang tersebut. Rasa penasarannya itulah yang
membuat Nadira sering berkunjung ke rumah Sonny. Sonny belakangan ini sering
mengajak Nadira ke ruangan dimana lembaran-lembaran partitur lagu berserakan di
atas pianonya. Jarak rumah yang tak jauh dari rumahnya membuat Nadira tak
gusar untuk datang. Nadira menemukan
sebingkai foto dimana terdapat gambar Sonny di foto tersebut dengan dua orang
di belakangnya yang Nadira kira itu adalah orang tuanya.
“Sonny, ini fotomu saat kecil dengan siapa?” Nadira sambil menunjuk foto
wanita di foto itu.
Dengan kesal, Sonny membalikan bingkai
foto tersebut dan membantingkannya hingga kacanya pecah.
Nadira terkejut dengan reaksi Sonny yang
emosional itu. Nadira baru pertama melihat Sonny seperti ini. Sonny meletakan
kedua tangannya di atas piano tersebut dan memulai memainkan sebuah lagu. Nadira
tidak mengenali lagu apa yang sedang Sonny mainkan, namun Nadira mengarang
sendiri liriknya sendiri saat pertama kali mendengarnya. Permaian pianonya
diawali dengan kelembutan, mulai keras, cepat, dan berakhir dengan lembut
kembali dengan bass piano. Sonny mengatakan bahwa lagu tersebut tersirat sisi
pedih dari kehidupannya yang sekarang.
“Orang-orang
hanya peduli aku yang selalu tersenyum tanpa tahu apa yang sebenarnya ku rasakan.
Jadi untuk apa kau peduli kabarku?”
“Aku hanya peduli pada keadaanmu. Tak
biasanya kau seperti ini.” Balas Nadira dengan tatapan iba. Akhir-akhir ini
Sonny memang terlihat sedikit berbeda.
“Baiklah, aku akan tersenyum. Masa
bodoh! Aku terseyun untuk siapa? Tak penting juga aku menutup-nutupi apa yang
kurasakan hanya demi orang-orang mau berada di dekatku.”
“Tapi aku berbeda. Entah kau sedang
bahagia, sedih, ataupun kesal, aku tak peduli! Apapun yang kau rasakan bisa kau
ceritakan, dan...”
“Ya, teruskan. Kau boleh sesukamu
bicara. Aku tak percaya. Maksud kata-katamu itu adalah tentang cinta, ‘kan? Aku
tak percaya cinta!” Reaksi Sonny tak diduga-duga Nadira.
Sonny menyentak Nadira sambil
melemparkan gelang tali yang dipakainya hingga ikatannya terlepas. Nadira hanya
memumungutnya dan berusaha membetulkannya. Esok harinya keadaan kembali seperti
biasa. Nadira mengikatkan kembali gelang itu ke pergelangan tangan Sonny. Namun
Nadira merasakan bahwa denyut nadi Sonny sedikit kencang sambil terus menerus
melihat wajah Nadira dengan sedikit poni di wajahnya yang berjatuhan, yang
tertimpa cahaya matahari senja yang terbelah kusen-kusen jendela.
Kali ini mereka tak pulang bersama. Nadira
pulang terlebih dahulu meninggkalkan Sonny yang akan berlatih untuk acara
pentas seni nanti. Saat Nadira menunggu di halte busway, seorang ibu yang
wajahnya seperti pernah ia lihat bertanya padanya.
“Nak, kau teman sekelasnya Sonny, ‘kan?”
“Hmm... Ya betul, Bu.” Nadira mencium
tangan ibu tersebut.
“Bagaimana keadaan Sonny?”
“Baik-baik. Ia sangat semangat belajar
di kelas walaupun ia kepayahan. Ibu ini siapanya Sonny?”
“Ibu... Ibu adalah Ibunya Sonny. Tolong
jangan beritahu pertemuan ini pada Sonny, ya!”
“Apa ada pesan yang bisa saya sampaikan
pada Sonny?”
“Tidak ada, tapi mohon bantuannya, Nak.
Harap baik pada anakku. Jaga ia.”
Bus yang mereka tungu datang. Namun
mereka tak meneruskan pembicaraa di dalam bus. Ibu Sonny menjelaskan bahwa
kedua orang tua Sonny bercerai saat kelas tujuh. Alasan mereka bercerai adalah karena
ibunya terlalu memaksakan Sonny untuk menjadi anak yang pintar di semua
pelajaran, bahkan tak segan-segan menghukumya dengan memukul tangannya dengan
rotan saat salah. Ayahnya merasa kesal atas tindakan ibunya tersebut. Ayahnya
begitu mengupayakan keinginan anaknya–mahir bermain piano. Sonny merasa sakit
hati dan tak ingin bertemu dengan ibunya karena mengatai bahwa Sonny akan
selalu bodoh, sehingga Sonny selalu rajin belajar dan membuktikan bahwa suatu
saat perkataan ibunya adalah salah.
Sonny pun tak percaya adanya cinta karena
melihat pertengakaran yang disebabkan berbagai masalah yang yang setiap hari orang
tuanya lakukan hingga akhirnya mereka bercerai. Kedua orangtuanya sibuk dengan
pekerjaannya sehingga kurang memperhatikan Sonny. Menurutnya, cinta hanyalah hasrat tak jelas
yang menjadi penderitaan terbesar manusia.
Mendengar hal tersebut, Nadira merasa
iba mendengar semua yang dibicaran oleh ibu dari Sonny tersebut. Dilema? Bisa
jadi. Karena Nadira ingin memperlihatkan bahwa ia peduli terhadap Sonny, namun
takut malah membuat Sonny kecewa atas pertemuannya dengan ibunya.
Nadira masih heran mengenai gelang tali
yang begitu Sonny sukai. Padahal ia sangat membenci ibunya, dan tak ingin
bertemu dengan ibunya.
“Sonny, mengapa kau begitu menyenangi
gelang itu?”
“Ya, karena bagus, dan pemberian ibuku.”
“Itu saja? Ku kira apa.”
“Apa pentingnya bagimu untuk tahu?”
“Aku tahu semuanya. Orang tuamu
bercerai, ‘kan?”
“Oke, baiklah ku akui kau memang sangat
peduli dan penasaran padaku hingga kau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku
menyukai gelang ini karena ini hadiah satu-satunya saat ibuku memujiku “Kau
anak pintar!” saat aku mendapat nilai seratus pada ulangan matematikaku saat
SD. Hari itu aku merasa senang sekali saat ibuku memuji.” Mendengar hal itu,
mata Nadira berkaca-kaca, hampir meneteskan air mata.
“Aku iri denganmu, mendapat suatu hal
yang sesederhana ini saja kau merasa sangat bahagia, sementara aku yang selalu
bersama ayah ibuku, kakakku, adikku, bahkan mereka yang selalu ingat tanggal
ulang tahunku, aku pernah menolak dan membuang hadiah yang mereka berikan
karena tak sesuai keinginanku di depan mata mereka. Aku langsung masuk kamar
dengan membanting pintu tanpa memikirkan perasaan mereka.” Karena melihat
reaksi Nadira, Sonny memberikan balasan sambil dengan mata yang berkaca-kaca
“Haha... Aku tak mengerti bagaimana
kehidupanku begitu diinginkan oleh orang lain, seperti dirimu. Terkadang, aku
sangat membenci kehidupanku, dan sangat iri terhadap kehidupan orang lain yang
kelihatannya seperti senang-senang saja tanpa kepedihan yang ku rasakan ini.
Tapi aku selalu berusaha memaknai hidupku agar setidaknya kehidupanku tak ku
cela oleh diriku sendiri.” Tangan Sonny perlahan menggenggam kedua tangan Nadira
dengan maksud menguatkan diri bahwa kehidupan memanglah pedih, tanpa maksud
lain. Namun Nadira merasakan ada yang lain dari tatapan mata Sonny saat ia
menggenggam tangannya.
Hari pertunjukan pentas datang. Penampilan
tersebut diakhiri tanpa cela. Penonton memberi tepuk tangan meriah. Namun
sampai beberapa hari setelah hari itu, Sonny tak menyapa atau mengajak bicara Nadira.
Nadira cukup bosan untuk hal yang terjadi kali ini. Akhirnya Nadira
memberanikan diri bertanya kepada Sonny.
“Sonny, apa yang sebenarnya kau
inginkan?” Nadira menatap dalam pandangan Sonny.
“Tidak tahu. Kau pikir saja sendiri.”
Balas Sonny dengan acuh lalu membuang muka.
“Apa maksudmu menghindar tiap menemui
kehadiranku?”
“Kau suka padaku? Mengakulah!’”
“Ya. Ku akui aku mengagumimu, malah
lebih dari itu!”
“Simpan omong kosongmu semua! Aku bisa
bertahan tanpa dirimu. Dari awalpun aku kuat. Aku tak pernah cerita apapun
padamu. Aku tak pernah menangis di depan orang-orang, orang-orang tahu bahwa
aku selalu bahagia. Aku terbiasa dengan semua ini. Apa kau hanya iba dengan apa
yang ku rasakan? Aku tak butuh itu.” Mendengar jawaban itu, tentu Nadira merasa
sakit hati atas anggapan tersebut selama ini. Seketika terlintas banyak hal
yang ingin ia utarakan.
“Ya, memang benar, kau tak pernah
menangis di depan orang-orang. Siapa juga yang peduli dengan tangisan orang
sombong bebal seperti dirimu! Aku berjuang terus di dekatmu bukan tanpa
kepayahan. Menjelaskan pelajaran-pelajaran di sekeolah yang tidak kau mngerti,
menjaga emosimu, memahi keluh kesahmu, semua itu kau pikir mudah? Tidak! Aku
sedikit menyesal melakukan semua yang ini justru membuatku terluka! Pikirkan
sekali lagi. Mungkinkah aku pengecualianmu atas tertutupnya pintu hatimu?”
Jawaban Nadira yang beradu rasa, mulai dari kesal, sedih, sakit hati, benci,
semua jadi satu.
Sonny termenung sejenak. Kali ini mereka
benar-benar tak bicara, tak melirik, dan sebagainya. Sonny kembali merasa
kesepian. Tak ada lagi yang menemaninya belajar, tak ada lagi yang memahami
perasaannya, tak ada lagi tempat ia melampiaskan emosi, tak ada sesosok pemberi
kehangatan. Sonny memberontak dalam hatinya, bertanya-tanya atas apa yang ia
lakukan kepada Nadira. Ia menghabiskan akhir semester dua kelas sebelas dengan
kehampaan.
Musim yang berganti–tak ada lagi
cahaya senja yang teriris helai rimbun pinus. Angin sejuk–cenderung dingin
mengisi hari-hari mereka. Tanpa sapaan, hampa. Beruntung tak ada yang
memperhatikan hubungan mereka. Mereka
hanya fokus dengan pilihan mereka masing-masing. Udara sejuk–cenderung dingin
menyiksa tiap-tiap batin mereka
Ego masing-masing masihlah terlalu
besar, lengkap dengan gengsinya. Setiap mereka hendak mengutarakan suatu
kepentingan, mereka mengurungkan keinginannya. Sonny mengalah. Ia bicara
duluan.
“Nad!” Panggil Sonny dengan memegang
bahu Nadira.
“Ya,” balas Nadira Acuh.
“Mau
sampai kapan seperti ini?”
“Seperti apa?” Balas Nadira mengelak.
Padahal ia sendiri menginginkannya.
“Kau tidak sadar juga. Sejujurnya aku
tersiksa dengan keadaan seperti ini. Aku merasa terbatasi dengan keadaan ini.
Aku mohon kita sudahi hal yang yang seperti ini. Aku membutuhkanmu.”
“Aku tidak bermasalah dengan keadaan
seperti ini. Kita? Kau sendiri yang merasa bermasalah!” Dusta Nadira. Sebetulnya
dada Nadira terasa sesak. Ia tak pernah mendapat pengakuan bahwa ia dibutuhkan.
“Baiklah. Aku mengaku begitu. Maaf untuk arogansiku ini. Aku mengharapkan kau
mengaku duluan. Sekarang sudah terjadi, kau mengaku membutuhkanku . Maaf untuk
semua kepura-puraanku.”
“Ya, kau jahat! Sangat. Jangan lakukan ini lagi. Kau adalah ‘pengeculianku’
diantara semua kebohongan. Menderita itu pasti kita rasakan. Berjalanlah di
sampingku dan jangan nostalgia.” Balas Sonny dengan sedikit terkejut mendengar
alasan Nadira tersebut.
Sejak saat itu mereka belajar untuk
lebih dewasa. Trauma dan ketidakpercaayaan bukan pilihan hidup. Lari dari kenyataan
adalah pilihan yang salah. Belajar, belajar, dan belajar–itulah jalan hidup manusia.