Jumat, 12 Februari 2016

Kunci Kristal [Bersambung] - Rizal Budi Leksono

Danau Warna jernih airnya seluas mata memandang. Airnya hingga hilang diganti rona langit sore yang terpantul, kalau aku menarik sampan ke tengah danau sepertinya tak ada kata tenggelam karena aku malah terbang dengan awan-awan. Bebek berenang dan bangau mencari makan di tepi danau yang berumput tinggi, juga ilalangn yang bergesekan. Terlihat rumah Dita dari sebrang danau.
Buku grafit1 dalam genggamanku. Ada empat pita berwarna dari tengah buku itu, dan selembar pita cahaya untuk mengabadikan momen. Kalau aku menempelkan pita coklat ke pohon cemara yang menjadi tempat sandaranku tentu aku langsung tahu berapa lama pohon itu tumbuh, sejauh apa akarnya di dalam tanah, setidaknya setengah makhluk hidup di danau ini memiliki data sendiri. Aku tak menulis dengan pena, namun dengan pikiranku.
“Reina, sedang apa kau sendiri di sana?”
“Ah, tidak apa-apa. Hanya menikmati udara segar danau ini. Kemarilah Dita!”
“Duduk di sini saja?”
“Ya, tetaplah di sini di tepian danau. Aku takkan menceburkanmu.”
“Baiklah. Berapa lama kau duduk di sini?”
“Entahlah, mungkin cukup lama. Apa kau membawa sesuatu untukku?”
“Tidak. Kau pandai menggambar, mungkin?”
Buku grafit selalu kosong. Yang tetap hanyalah cover bukunya. Isinya berubah-rubah, sesuai kemauanku atau data yang tersedia. Di negaraku ditetapkan bahwa pohon cemara menjadi sumber pertukaran data. Aku bisa menghubungi seseorang, menulis, menggambar, apapun itu kalau aku berada di dekat pohon cemara, bahkan mendengarkan lagu dan melihat rekaman pita cahaya.
“Apa sudah jadi gambarnya, Reina?”
“Sudah.” Ku perlihatkan gambar sketsa keabu-abuan dari lembar pertama buku grafit.
“Jangan lupa kirimkan gambarnya lewat cemara.”
“Hmm... sepertinya gangguan. Biar kucoba lagi.” Pita berwarna merah menggulung sendiri.
“Apa ini pertanda baik?”
“Sepertinya tidak. Ada perusak di sekitar sini. Sepertinya dia orang asing tak tahu cara menjaga alam. Seseorang menyiramkan sesuatu ke tanah sehingga pohon ini menyerapnya, dan begitulah...”
“Aku tidak melihat siapapun, tapi tunggu, lalu itu apa yang ada di dahan pohon?” Anandita Tanudatar menunjuk makhluk seperti burung hantu itu.
“Wuk wuuk wuk wuuk, siapa disana?” Burung hantu itu bisa berbicara.
“Tampak mengejutkan. Burung hantu itu bicara. Mungkin ia mengajak selfie kepadamu, Reina.” Ujar Dita.
Burung hantu itu datang, sementara hari semakin gelap. Awal tahun 2416 yang mengejutkan. Seekor burung hantu bisa berbicara, dengan keadaan alam yang mendukung, seperti angin yang semakin dingin menarik bulu kuduk, apalah itu.
Gulungan surat di kakinya ingin agar aku membukanya. Tulisannya lenyap seperti debu tertiup, lalu muncul dalam buku grafitku. Burung hantu itu lalu pergi
“Halo!” tertulis besar di tengah lembar halaman pertama. Ku pikirkan balasannya dan muncul.
“Hai! Kau siapa? Apa kau burung hantu itu? Kemunculanmu itu mengganggu sinyal pertukaran data.”
“Tidak. Aku pemiliknya. Aku ingin menolongmu. Aku mengajarinya hingga bisa bicara dengan teknologi yang ayahku punya. Berkunjunglah ke rumahku.” Selesai aku dan Dita membaca balasan dari orang itu, buku tersebut membuka halaman terakhir di buku yang fungsinya sebagai peta.
“Tanya lagi orang misterius itu Reina!” Ujar Anandita ingin aku membalasnya karena ia tak bisa membalas dengan buku grafitku. Milikku, maka hanya aku yang bisa memakainya. Miliknya, hanya ia saja yang bisa memakainya.
“Namamu siapa? Aku tak tahu persis dimana tempat tinggalmu, sepertinya daerah terpencil. Aku menebaknya dari gayamu yang memberikan surat dari sebuah perkamen elektronik usang.”
“Namaku Darpa Wiraatmaja. Geser tulisan yang akan muncul, ‘Proyeksikan’ nanti lihat yang akan terjadi. Aku tahu kau yang menerima adalah Reina Hikari dan yang di sampingmu Anandita Tanudatar.” Dikirimnya pesan itu dengan align teks center dan tulisan tegak bersambung yang rapih.
Terlihat cahaya laser biru dari gutter halaman yang menunjukankami suatu arah, lengkap dengan rincian mata angin, jarak, lintang, dan bujur dimana dia berada.
“Bagaimana kau melakukannya? Aku saja yang punya buku ini tidak tahu secara keseluruhan mengopersikannya, ku hanrap kau mengajariku. Lalu bagaimana cara kami sampai ketempat tujuan? Berjalan kaki?”
“Ikuti saja, tidak sulit. Tidak jauh bukan?”
“Apa yang harus aku bawa? Sementara hari sudah gelap.”
“Buku itu, temanmu, dan kunci kristal. Baiklah besok saja kau datang.” Darpa mengiripnya dengan font kecil yang antik dan setiap huruf bejarak agak jauh.”
“Kristal apa? Kalungku maksudmu? Sejak kapan kau memata-mataiku? Baiklah, aku mengantuk. Aku dan Dita akan pulang, dan menjauh dari pohon cemara sandaranku. Aku mengaku buku grafit ini tidak secanggih teknologi yang kau punya. Maafkan aku mencelamu. Besok saja kita lanjutkan.” Balasku dengan tulisan yang hinggap di pohon lalu terbang kesana-kemari.
***
Mentari terbit hari ini tidak tertutup awan, cerah sekali. Pemandangan indah dari Danau Warna selalu muncul setiap ku buka jendela, dan sinar mentari pagi yang usil ingin masuk kamarku dan mengintipku yang ‘setengah’ berpakaian. Aku pergi sekolah. Aku duduk di bangku kelas, bangkunya tidak berderet seperti abad 21. Melainkan setengah lingkaran. Karpet ‘wangi’ menyapaku dan ‘menegur’ agar anggota kelas mencucinya. Setidaknya sesajen[2] menyamarkan aroma-aroma itu hinggak terasa tidak ada. Pelajaran Olah Jiwa begitu menentramakan. Kemampuan seseorang dalam spiritual sangat penting di zamanku. Mencoba melihat dengan batin, sedang ku pelajari. Banyak masalah menimpa negeriku karena ketidaktentraman batin pada diri masing-masing.
Darpa? Bagaimana Darpa? Dia tiba-tiba muncul, dalam mata batin, aku meyakini ia Darpa, padahal aku belum pernah melihatnya. Ia menunjukan sebuah pintu, dan kuncinya adalah kristal yang kujadikan kalung.
“Apa kau sudah makan?” Ia terlihat sedang bicara kepadaku, aku tak paham. Seolah dia melihatku. Dia menyiapkan makan siang di sana.
Sekarang waktu belajar telah usai. Matahari selesai dari puncaknya, aku berkunjung kerumahnya bersama Dita. Cahaya laser menuntunku.
Kami tiba disana. Aku tak menceritakan hal barusan kepada Dita. Pagar kayu putih yang tinggi dan bangunan bertema abad 18 ala eropa yang antik nan artistik sudah cukup menjelaskan pengetahuan keluarganya Darpa, tapi tak menjelaskan sejauh apa mereka dikenal dan dari mana mereka berasal. Terlihat cemara yang rindang di depan rumah tersebut.
Pintu pagar kayu berubah menjadi coklat perlahan. Namun bercak putih tetap ada, yang sebenarnya tulisan “Wuk wuuk wuk wuuk, siapa disana?”. Lalu motif ukiran Belanda muncul dengan lambang burung hantu menghiasi pintu tersebut. Ku jawab dengan menempelkan kristalku, sepertinya berfungsi dan sidik jari kami berdua. Pintu membuka. Benar saja yang ku lihat tadi saat meditasi. Ia langsung mempersilakan kami masuk, namun langsung mengajak kami ke meja makan.
“Hmm... berapa kau tinggal di sini Darpa?”
“Aku baru pindah 2 tahun yang lalu, dari kota Priangan Utara.”
“Kau bilang kemarin kau akan menolongku, betul demikian?”
“Ya, nanti akan ada kekacauan data. Semua orang akan bertebaran. Ada banyak kerusuhan dan orang-orang bertanya-tanya apa yang terjadi. Sepertinya seseorang mencuri data pemerintah dan mengacak-acak komunikasi. Bisa saja kau tiba-tiba melihat percakapan teman-temanmu yang sedang membicarakanmu, jadi semua percakapan tidak terenskripsi dengan aman. Berikut data keluargamu yang memudahkan pencuri menyusup kerumahmu, menjarah barang di pusat perbelajaan, dan merubah nomor rekeningmu jadi kau tidak bisa membayar kredit belanja.”
“Bisakah kau jelaskan apa yang kau maksud sebenarnya? Jangan menakut-nakuti kami.”
“Singkatnya ini adalah penderitaan yang belum terjadi. Yang harus kau lakukan membantuku untuk menyelamatkan kota Priangan Selatan, seluruh Priangan, ataupun Nusantara. Kristalmu bisa menangkal penyadapan. Pada saat kau mengirim lukisan ke buku Dita gagal, beruntunglah, karena tidak jadi disadap seseorang. Gunakan mata batin, karena tidak akan mudah disadap.”
“Harus ku apakan kristal ini?”
“Membuatnya lagi.”
“Tidak kau tiru saja mekanisme kristal ini bekerja pada sebuah mesin?”
“Aku belum bisa. Ayahku sedang sibuk bekerja di lantai atas. Ayahku belum tahu tentang hal ini.” Sambil mengoperasikan buku grafitnya yang sedikit tebal dan bercover coklat tua. Terlihat ia adalah seorang kutu buku.
“Kau punya perkamen ayahmu?” Aku melihat secarik kertas bertuliskan “Aditya Wiraatmaja yang terduduk di singgasananya”.
“Tentu, itu yang kau lihat tengah meja makan. Makanlah.”
Setelah itu kami masuk ke ruangan bawah tanah, ada banyak percobaan yang sedang ia lakukan. Aku melihat ‘pancingan data’ berupa tanaman kamboja yang masil kecil, karena bunganya langsung memproyeksikan namaku, dan identitasku. Begiitu nyaman walau kami tak melihat matahari. Kayu ukiran jepara melengkapi bagian depan ruangan ini. selebihnya hanya meja dan diatasnya percobaan tersebut. Dita mengeluarkan buku grafitnya dari tasnya. Warnanya merah marun. Ia mengambil perkamen tersebut yang ia bawa tadi. Tulisannya hilang, berpindah ke bukunya.
“Selamat siang, Pak.”
“Datang saja kemari.”
“Terimakasih Pak, bagaimana cara untuk mencegah penyadapan dan ...” Dita menulis panjang lebar.
Mulai hari itu kami mencari perusahaan-perusahaan yang mau menerima proposa kami membuat seseuatu yang menyeruapai kristal ini, walaupun hanya sedikit yang menanggapi apa yang kami lakukan setidaknya ada juga yang menanggapi keinginan kami, mengamankan data dari bencana. Beberapa perusahaan menerima dan mempublikasikan. kami berpikir bahwa ada seseorang yang ingin mengalihakan isu dengan cara seperti ini. Keuangan negara kami kian lama kian merosot—apa yang dapat kami perbuat? Hanya ini saja—usaha dengan tanggapan rendah
Musim kekacauan hampir datang. Darpa tahu dari bunga kambojanya. Kabel-kabel yang terpasang pada bunga tersebut kurang rapih—cenderung amatir. Aku memasangkan kristal ini dirumahku, agar keluargaku selamat.
Kerusuhan terjadi. Televisi hologram memberitakan semua kekacauan—apa yang kami lakukan? Kami mencari isu inti, kami menemukannya, dan melaporkannya ke pihak berwajib. oh iya, kami lupa, bukannya memberitakan hal ini terhadap orang terdekat derlebih dahulu.
Gubernur Priangan menanggapi kami walau terlambat. Setidaknya kami berusaha. Aksi bakar-bakaran tak terhindarkan, menuntut pemerintah mengembarikan akses pertukaran data.
***




[1] Buku yang hanya sebagai layout sebuah file, penyimpanannya ada pada cover belakang yang tebal, juga bisa sebagai alat komunikasi jika berada di dekat pohon cemara.
[2] Ramuan khusus seperti aromatherapi yang dipanaskan dengan api, tidak ada unsur mistis atau pemujaan disini.